Kita Dimata Bank Dunia

Kita di Mata Bank Dunia
Oleh Helfizon Assyafei
Sepanjang waktu dari Pemilu ke Pemilu mungkin saat ini entah mengapa ekonomi terasa begitu berat. Segalanya seperti sedang berjalan tidak baik-baik saja. Ya ekonomi, politik, urusan atau apapunlah itu. Banyak yang menghadapi tekenan ril sehari-hari. Terlepas dari gegap gempitanya acara ini dan itu yang ditaja pemerintah. Persoalan banyak orang hari ini adalah hilangnya daya beli.
Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook pada April 2025 mencatat bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia, berarti setara 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan global. Artinya jika Anda saat ini duduk sebagai bagian dari pemerintahan harus berpikir keras bagaimana mengurangi beban ongkos hidup rakyat.
Solusi yang baru ada dan nyata dari pemerintah adalah operasi pangan murah. Ini membantu sekali. Persoalannya meski ini membantu kalau yang sudah kehilangan daya beli sama sekali solusi ini tak membantu juga. Perlu solusi lain. Menurut saya perlu rasanya pemerintah memikirkan bagaimana rakyat bisa dapat pinjaman tak berbunga untuk keperluan primer seperti sembako.
Mungkin namanya Bank Rakyat atau apapunlah itu. Bentuk sistemnya. Lalu gulirkan. Agar persoalan sehari-hari warga setidaknya ada solusi harian menghadapi ketidakpastian situasi ekonomi yang tidak baik-baik saja. Bukankah jabatan publik seharusnya mengandung tanggung jawab moral dan nilai sakral yang tidak layak dirusak oleh kerakusan kepentingan kelompok atau diri sendiri?
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia Nicholas Martua Siagian menyebutkan bahwa ada jeritan yang tak terdengar oleh mereka yang duduk enak di menara gading kekuasaan. Sementara jutaan rakyat menjerit mencari pekerjaan, tercekik oleh tingginya harga kebutuhan pokok dan terbatasnya akses pendidikan maupun kesehatan, para pejabat justru sibuk mengumpulkan posisi, gaji, dan fasilitas. Di tengah melambungnya angka pengangguran terdidik, pejabat yang seharusnya menjadi pelayan publik malah menjelma menjadi “penikmat negara.”
Peneyelanggara negara dari semua level harus terus berpikir bekerja mencari solusi bagaimana mengatasi persoalan kehilangan daya beli masyarakat ini. Kalau hanya jadi ‘penikmat negara’ lalu kemudian dapat pula penghargaan pengabdian sekian tahun sebenarnya tak tepat itu.
Pengabdian pada siapa? Konon katanya pada negara tetapi sebenarnya lebih pada keuntungan diri, keluarga dan kelompok sendiri. Rakyat tak merasakan apa-apa dari keberadaan kita. Tapi kita gemar menipu diri sendiri demi sebuah prestise tak abadi.
Pertanyaannya, masihkah kita ingin berpura-pura tidak melihat kenyataan bahwa kemiskinan struktural di negeri ini semakin mengakar?
Pekanbaru, 3 November 2025
Penulis adalah Jurnalis RAN











