Banjir Sumatera: Tanda Alam yang Diabaikan

Banjir Sumatera: Tanda Alam yang Diabaikan
Oleh Ilham Muhammad Yasir*
BANJIR bandang yang melanda Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), dan Aceh pada 25 November 2025 mengingatkan kita kembali pada bencana serupa yang terjadi setahun sebelumnya. Pada 28 November 2024, Malaysia dan Thailand juga dilanda banjir besar yang memaksa lebih dari 137.000 orang di sembilan provinsi di Malaysia mengungsi, sementara ribuan lainnya juga terpaksa meninggalkan rumah mereka di Thailand. Tercatat ada 29 orang meninggal di Thailand, dan 6 orang di Malaysia. Sumatera, termasuk Riau, Jambi, Sumbar, Sumut, dan Aceh, waktu itu juga turut terdampak, meski dampaknya tidak seberat yang terjadi tahun ini. Banjir pada akhir 2024 lalu itu mengungkapkan betapa rentannya kawasan Asia Tenggara (Asean) terhadap cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, terutama jelang akhir tahun saat intensitas curah hujan tinggi.
Namun, bencana yang melanda pada akhir 2025 tahun ini jauh lebih besar, baik dari segi skala kerusakan maupun jumlah korban yang jatuh. Ketika banjir bandang kembali menerjang, dampaknya lebih luas dan menghancurkan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per Jumat, 5 Desember 2025 mencatat sudah sebanyak 837 orang meninggal dunia, dengan 509 orang masih hilang dan 2.700 orang lainnya mengalami luka-luka. Jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat seiring intensifnya pendataan yang dilakukan.
Di Sumbar, tercatat 200 orang meninggal, 212 orang hilang, 111 orang luka-luka, dan 3.000 rumah rusak berat. Di Sumut, 312 orang meninggal, 127 orang hilang, 646 orang luka-luka, dan 2.400 rumah rusak berat. Sementara di Aceh, 325 orang meninggal, 170 orang hilang, 1.900 orang luka-luka, dan 5.200 rumah rusak berat. Warga ketiga provinsi ini menghadapi kerusakan yang lebih parah dibandingkan bencana banjir tahun sebelumnya. Selain kehilangan ratusan nyawa, terdapat pula kerusakan infrastruktur yang luar biasa, seperti ratusan jalan. jembatan, rumah ibadah, fasilitas pendidikan, dan ribuan rumah rusak parah. Angka-angka ini mencerminkan betapa perubahan iklim telah mengubah pola bencana yang dulu jarang terjadi, kini menjadi lebih sering dan lebih dahsyat dampaknya.
Respon Pusat Lambat
Baru setelah hampir sepekan berlalu, dengan keluhan yang semakin meluas dari daerah-daerah terdampak, Presiden Prabowo Subianto turun ke lapangan. Sehari sebelumnya, Menko Bidang Pangan, Zulhas yang lebih dulu turun jelang kedatangan Presiden Prabowo. Setelah itu baru sejumlah Menteri di Kabinet Merah Putih, di antaranya Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pertambangan dan Sumber Daya Mineral dan beberapa anggota Komisi X DPR RI silih berganti meninjau lokasi bencana. Ironisnya, meskipun para pejabat sibuk memberitakan dan menangani bencana, penderitaan warga yang terisolasi berhari-hari menunggu bantuan adalah kenyataan pahit yang terlambat untuk disadari. Waktu yang hilang dalam menanggapi bencana ini semakin memperburuk situasi yang sudah kritis ini.
Sementara itu, di media sosial, tagar #Sumatera Berduka terus mengalir deras sejak bencana terjadi di hari pertama. Ucapan belasungkawa terus mengiringi seiring bertambahnya jumlah korban yang hilang, tertimbun tanah longsor dan banjir bandang ditemukan. Media lokal sebenarnya sudah sejak awal gencar menyerukan pemberitaan dampak dahsyat dari bencana kali ini. Hanya media nasional yang baru memberikan sorotan intens setelah kehadiran para pejabat negara ke lokasi. Hal ini menjadi cermin betapa lambannya respons dari pihak yang seharusnya berada di garis depan penanggulangan bencana.
Banjir yang melanda Sumbar, Sumut dan Aceh ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi warganya, ataukah justru peran media sosial dan masyarakat yang lebih aktif dalam mendorong perhatian pada bencana ini? Angka korban yang mendekati ribuan jiwa di tiga provinsi ini bukan angka yang kecil. Kehidupan yang seharusnya berjalan normal berubah drastis dalam hitungan jam. Di antara puing-puing rumah yang hancur, ribuan warga harus mengungsi tanpa kepastian, menambah beban di tengah krisis yang tak kunjung mendapatkan perhatian serius dari pusat sepekan sebelumnya.
Sebelumnya, ada seruan keras dari anggota DPD asal Sumatera Barat Irman Gusman, yang mendesak pemerintah harus mengumumkan darurat bencana nasional, respons pusat tetap landai. Menurut Irman, tidak ada langkah sigap seperti yang terjadi seperti gempa Sumbar 2008 atau Tsunami Aceh 2004, yang memungkinkan daerah-daerah ini mendapatkan perhatian dan sumber daya yang memadai. Untuk itu, penting bagi negara untuk segera mengumumkan status darurat, mengingat biaya pemulihan yang sangat besar akan diperlukan. Infrastruktur yang rusak; jalan, jembatan, rumah ibadah, dan fasilitas Pendidikan, menambah kesulitan yang dihadapi masyarakat. Pemulihan bukan hanya soal membangun kembali, tetapi juga memberi kehidupan kembali kepada masyarakat yang terpuruk. Presiden Prabowo terakhir setelah turun ke lokasi bencana hanya merespon dengan penetapan darurat bencana daerah untuk Sumbar, Sumut dan Aceh.
Penurunan Emisi Karbon
Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, komitmen Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara (Asean) terhadap upaya penurunan emisi karbon dan mitigasi perubahan iklim semakin dipertanyakan. Meskipun Indonesia telah menjadi salah satu penandatangan Perjanjian Paris 2015, yang menargetkan pengurangan emisi karbon secara signifikan pada tahun 2030, realisasi kebijakan ini masih jauh dari harapan. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Thailand, dan Indonesia, telah mengadopsi berbagai kebijakan nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim, namun implementasi di lapangan sering kali terbentur oleh masalah koordinasi, pembiayaan, dan kesadaran publik.
Indonesia, misalnya, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 tanpa bantuan internasional, dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional. Bahkan Indonesia di tahun 2022 justru memperbaiki targetnya naik dari 29 persen persen menjadi 31,89 persen tanpa bantuan internasional, dan 41 persen menjadi 43,20 persen dengan bantuan pendanaan internasional. Namun, kebijakan pengelolaan hutan, pengurangan deforestasi, dan peralihan ke energi terbarukan masih menghadapi tantangan besar. Deforestasi yang terus berlanjut, baik untuk industri kelapa sawit, penambangan, maupun perkebunan, justru memperburuk dampak perubahan iklim dan memperbesar kerentanannya terhadap bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan.
Perubahan Iklim
Bencana banjir bandang di Sumatera tahun ini bukan hanya persoalan bencana kemanusiaan biasa, melainkan juga persoalan yang lebih besar ke depannya. Yakni, kirisis perubahan iklim yang semakin nyata. Di tengah kesulitan ini, siklon tropis menjadi satu-satunya penyebab utama dari curah hujan ekstrem yang terjadi. Fenomena iklim ini, semakin meningkat akibat pemanasan global yang menunjukkan bagaimana atmosfer yang lebih hangat memengaruhi pola cuaca dan meningkatkan kemungkinan hujan ekstrem serta badai besar yang merusak. Kejadian bencana besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa negara ini bukan lagi soal kebetulan. Ini adalah pola baru yang harus dihadapi oleh dunia, terutama oleh negara-negara tropis di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,Vietnam yang mulai merasakan langsung dampak kerentanannya dalam 10 tahun terakhir terhadap dampak iklim ini.
Bagi negara-negara Asean lainnya, meskipun ada kesepakatan regional dalam mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, pelaksanaan kebijakan yang konsisten dan efektif tetap menjadi tantangan besar. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang lebih tegas, transparansi dalam penggunaan dana iklim, dan komitmen yang lebih besar dalam penghentian deforestasi serta perlindungan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan di kawasan ini. Tanpa langkah nyata dalam pengurangan emisi dan perubahan perilaku yang lebih ramah lingkungan, bencana seperti yang baru saja terjadi di Sumatera, dan tahun lalu di Malaysia, dan Thailand akan kembali terulang kembali.
Oleh karena itu, jika tidak ada langkah yang lebih sistematis dan terstruktur dalam penanggulangan bencana, kita hanya akan melihat semakin banyak korban yang jatuh di masa depan. Pemerintah tidak hanya harus hadir dalam penanggulangan bencana, tetapi juga dalam pencegahannya. Kebijakan penghentian deforestasi, restorasi lingkungan, dan pembangunan infrastruktur ramah iklim harus menjadi prioritas nasional. Kerusakan alam yang disebabkan oleh ulah manusia ini sudah cukup membuat bumi memberikan tanggapan kerasnya sebagai tanda-tanda alam yang dibaikan melalui bencana alam.
Lebih dari sekadar penyelesaian bencana, negara juga harus sadar bahwa kita berada di ambang krisis iklim global yang tidak bisa lagi diabaikan. Jika negara gagal memitigasi krisis ini dan mengabaikan bencana yang terjadi, maka generasi mendatang akan menjadi korban akibat kelalaian negara hari ini. Bencana Sumatera adalah sebuah peringatan keras bagi semua pihak yang terlibat, bahwa masa depan kita berada di tangan kita. Harus ada langkah besar yang segera dilakukan. Semoga.***
*adalah mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru 2010 – 2013 saat ini jurnalis freelance dan tinggal di Kota Pekanbaru.











