Margaret

Oleh Helfizon Assyafei
Namanya Margaret. Diam-diam daftar UI dan lulus. Gadis kampung di Kupang itu mengaku sempat diejek guru dan tetangga: kalau miskin jangan coba kuliah. "Sempat dibilang juga 'Miskin banyak gaya kuliah di Jawa'," imbuhnya.
(Berita Nasional)
==========
Tidak semua orang suka bila kita sukses. Apalagi miskin. Tapi begitulah hidup. Iri dan dengki akan selalu ada disekitar kita. Sifat itu tumbuh di hati yang memiliki ‘penyakit’. Jadi biarkan saja. Kita harus menerima kenyataan tidak semua orang suka pada kita. Baik kita sukses ataupun tidak. Tak apa. Ngga usah dipirkaan karena itu alamiahnya hidup. Alamiahnya dunia.
Namun ada juga respon netizen yang agak mengejutkan. Begini kata mereka. “Gak salah juga sih guru dan tetangga nya. Karena pendidikan tingkat universitas sekarang mahalnya minta ampun, gak sebanding dengan pemasukan orang tua,” ujarnya. Lalu mereka bertutur tentang potret realitas masa kini itu.
Kalau anaknya gak secerdas sepintar yang juara olimpiade sains fisika, rada mustahil bisa seperti Margaret. Sekarang pendidikan universitas lebih ke komersial dibandingkan investasi ilmu. Keluar uang ratusan juta rupiah lulus belum tentu bisa masuk dapat kerjaan yang baik.
Artinya untuk anak yang dari menengah bawah (bukan miskin) dan anaknya gak terlalu cerdas akademik nya itu akan sangat membebani orang tua.
***
Kebetulan saya merasakan apa yang dikatakan netizen itu. Bahkan jika anak Anda lolos di universitas negeri maka biayanya jutaan juga, gak sebanding dengan pemasukan saya sebagai orangtua. Meski saya sudah lakukan banding dan menceritakan kondisi saya sebenarnya, hasilnya hanya turun satu trip. Tetap jutaan juga boi.
Sampai-sampai putri saya berkata pada saya. “Dah la pa, kakak ngga usah aja kuliah.” Saya kuatkan semangatnya. “Kakak harus kuliah berapapun baiayanya itu urusan pa.” Dia sempat terlihat sedih setelah tahu berapa biaya per semesternya. Saya tetap menghiburnya.
Padahal dari pendidikanlah kita berharap generasi muda tumbuh dan berkembang dizamannya mendatang. Memajukan Indonesia tercinta ini. Kalau saja sektor ini diseriusi, disubsidi penuh APBN sehingga universitas negeri tidak harus mencari biaya sendiri yang dibebankan ke mahasiswa baru maka pastilah biaya kuliahnya terjangkau.
Seperti era saya dulu. Saya anak yatim dan ibu saya tidak ada penghasilan kecuali mengharapkan pensiun tak seberapa ayah saya yang PNS. Meski demikian masih bisa menguliahkan saya. Padahal diuang pensiun itu semuanya jadi tumpuan. Ya biaya hidup emak, kakak-kakak dan saya. Tapi saya masih bisa kuliah di universitas negeri. Saya ingat biaya persemesternya kala itu Rp108.000.
Masa itu telah lama berlalu. Dulu saya mengira makin maju negara makin rendah biaya pendidikannya. Dan ternyata saya keliru. Yang terjadi sebaliknya.
Pekanbaru, 25 Juli 2025