Riau Darurat Tambang Ilegal

Tambang granit dalam hutan. (tribunbatam)
Riau Analisa.com-JAKARTA- Ternyata Riau bertebaran tambang illegal. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Provinsi Riau tercatat memiliki 24 lokasi pertambangan tanpa izin (PETI).
Angka ini menempatkan Riau sebagai provinsi dengan jumlah PETI tertinggi kedua di Indonesia setelah Sumatra Selatan yang mencatat 26 laporan. Sementara posisi ketiga ditempati oleh Sumatra Utara dengan 11 laporan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan tanpa izin mencakup seluruh tahapan, mulai dari eksplorasi hingga operasi produksi, termasuk penampungan dan penjualan hasil tambang.
"Terkait dengan penambangan tanpa izin, siapa pun yang melakukan kegiatan, termasuk menampung atau mengolah hasil tambang ilegal, dikenai sanksi yang sama, yakni pidana paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar," kata Tri dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, akhir tahun lalu.
Ketentuan itu diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Tiga pasal dalam regulasi tersebut secara tegas memberikan sanksi terhadap pelaku PETI, termasuk mereka yang menyalahgunakan izin eksplorasi untuk kegiatan produksi, serta pihak-pihak yang memanfaatkan atau menjual hasil tambang illegal.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan akan mengambil alih kembali lahan tambang mineral dan batu bara (minerba) ilegal seluas 300.000 hektare di kawasan hutan. Langkah ini dilakukan karena aktivitas tambang tanpa izin tersebut dinilai merugikan negara hingga mencapai Rp700 triliun.
Kepala BPKP Yusuf Ateh mengatakan, pengambilalihan atau penyitaan lahan tambang ilegal itu akan dilakukan sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto dengan menggandeng Kejaksaan Agung, TNI, dan Kepolisian.
"Tambang itu ada emas, bauksit, timah, batu bara dan segala macam. Karena perintah Presiden, 'ambil dahulu lahannya, lalu kita kenakan denda ilegal.' Ambil dahulu, kuasai kembali," ujar Yusuf dalam acara Leader’s Corner: Leading to Transform yang disiarkan secara daring, pada Kamis, 26 Juni 2026.
Yusuf menjelaskan, dari total sekitar 4,2 juta hektare lahan tambang di kawasan hutan yang telah teridentifikasi, sekitar 296.000—300.000 hektare menjadi prioritas untuk dikuasai kembali oleh negara.
Ia menambahkan, praktik tambang ilegal dinilai lebih merugikan dibandingkan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini lantaran tambang ilegal bisa langsung merusak ekosistem hutan hanya dengan penggunaan alat berat.
"Kalau kelapa sawit kan harus menanam dulu enam tahun, tetapi kalau tambang tinggal keruk saja pakai beko (alat berat/excavator),” ujarnya. Pemerintah, menurut Yusuf, akan menempuh jalur hukum terhadap para pelaku, serta menagih kompensasi dan denda. Ia menegaskan negara tidak segan memenjarakan pelaku tambang ilegal.
"Nanti yang punya kita kuasai kembali, lalu kita minta bayarkan. Jadi ini tambahan baru bagi penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," kata dia.(rhd)