Tulusnya Hati Orang Kecil

Oleh Helfizon Assyafei
Lelaki sederhana separo baya itu penjual tapai dan pepaya. Dengan motor butut dan keranjang dibelakangnya ia parkir dan berdiri menjaga dagangannya sejak pagi hingga siang hari di pinggir jalan tak jauh dari lingkungan tempat saya tinggal. Kalau panas terik ia numpang berteduh di kedai yang tak tak jauh dari tempat motor jualan diparkirkannya. Sesekali saya singgah dan ngobrol. Baru tahu juga ia tinggal di Rumbai dan jualan di Panam. “Kok jauh sekali? Kenapa nggak di Rumbai saja jualannya,” ujar saya suatu kali. “Di sini pula rezeki saya agak lancar bang,” ujarnya.
Benar juga. Dulu kalau saya beli pepayanya jam 11 masih ada. Sekarang dibawah jam 11 sudah ludes alias laku keras. Tinggal lagi tapai yang dibungkus-bungkusnya dengan plastik yang dijual dengan harga Rp5.000/bungkus. Buah yang dijualnya tidak semua dari dari kebunnya. Ia beli dari kebun orang lain lalu dijual lagi. Per kg nya tergolong murah ia jual sekitar Rp3 ribu hingga Rp4.000. Jadi dengan uang Rp7 ribu saja saya bisa dapat papaya yang besar dan manis.
Menjelang siang dagangannya sering ramai pembeli. Namun begitu azan Zuhur berkumandang ia tutup lapak. Dan bergegas ke masjid terdekat. Sesekali kami bertegur sapa saat berjumpa di masjid di lingkungan kami. Pernah ngobrol lama saat kami sama-sama terkurung hujan setelah sholat Zuhur. Dari situ saya tahu anaknya yang paling besar sudah tamat sekolah dan bekerja di Batam. Adiknya masih sekolah di SMA. Awalnya ia hanya mengambil upah penjaga kebun orang.
Dengan upahnya yang sedikit itulah ia memulai dagang kecilnya itu. Mulanya dengan sepeda dan sekarang sudah dengan honda, eh sepeda motor maksudnya. Menurutnya ia tahu ia tidak akan kaya juga walaupun meninggalkan sholat demi jualan. Jadi ia tetap jaga sholatnya tetap waktu berjamaah di masjid. Yang ia rasakan adalah berkah. “Kalau dipikir pakai akal ya bang, rasanya tak mungkin saya bisa menyekolahkan anak karena untuk biaya makan saja kami kekurangan,” kenangnya. Namun berkah rezekinya yang tak seberapa secara nominal itulah ia melihat keajaiban tersebut.
Kemarin saya singgah ditempat ia jualan pinggir jalan dengan motor dan keranjangnya. Panas terik sekali. Membeli pepayanya. Setelah saya bayar dan mau beranjak pergi ia menahan saya. “Sebentar bang, ini..,” katanya sambil menyodorkan uang Rp250.000. Saya kaget. “Untuk apa ini?” ujar saya. “Saya lihat masjid kita lagi mengangsur utang karpet yang per meternya Rp500.000 ya bang. Walau hanya setengahnya saya sanggup minta tolong sampaikan ke pengurus masjid ya bang. Ka abang pengurus juga,” ujarnya.
“Deg..” jantung saya berdegup menerima uang infak itu. Ia yang mengumpulkan untung dari rupiah ke rupiah yang tak seberapa dibawah terik matahari itu dengan tenang menyedekahkannya begitu saja. Saya tergetar melihat ia dengan wajah gembira memberikannya. Tulusnya hati orang kecil itu sungguh indah. Saya terdiam lama. “Ngapa bang?” ujarnya kemudian. “Oh nggak apa, nanti saya sampaikan dan terimakasih semoga jadi amal jariyah,” ujar saya berlalu menahan haru. Belum jauh saya pergi baru teringat saya ngga tahu namanya. Ini perlu untuk administrasi pencatatan yang berinfak. Saya balik lagi.
“Maaf pak nama lengkapnya siapa biar dicatat bendara masjid,” ujar saya padanya. “Ia tersenyum, ngga usahlah ditulis di papapn bang. Malu saya,” ujarnya. “Baiklah ini bukan untuk ditulis dipapan tapi di catatan buku bendahara masjid,” ujar saya lagi. Ia kembali tersenyum. Masih keberatan menyebutkan namanya. Lalu ia bilang, “Tulis aja tukang tapai bang,” ujarnya lagi…Masya Alloh…
Panam, 27 Agustus 2025
Penulis, Jurnalis RAN