Dari Istana Dunia Menuju Sajadah Cinta Ilahi

Oleh: Syekh. Sofyan Siroj Abdul Wahab
Umar bin Abdul Aziz tumbuh di istana Umayyah. Ia memakai pakaian mahal, wangi semerbak, dan disambut para pelayan. Namun, saat ia diangkat menjadi khalifah menggantikan sepupunya Sulaiman bin Abdul Malik, dunia seolah berhenti.
Ia berdiri di mimbar dan mengucap: “Wahai manusia, aku ini bukan yang terbaik di antara kalian. Aku telah diberi amanah berat ini tanpa diminta. Maka aku menyadari, ini bukan kehormatan, tapi ujian.”
Hari itu, ia pulang ke rumah, menangis di atas sajadah, dan berkata kepada istrinya F??imah:“Wahai istriku, aku telah diuji. Dunia bukan untuk kita. Mulai hari ini, aku akan hidup seperti rakyat yang paling miskin.”
Ia menyerahkan seluruh kekayaan istananya ke Baitul Mal. Ia mengenakan baju wol. Ia bertaubat dari cinta dunia yang halus dan menyelusup.
Umar bin Abdul Aziz menghapus pajak dzalim, mengembalikan tanah-tanah rampasan kepada rakyat, mengganti pejabat fasik dengan ulama. Ia menyebarkan keadilan seperti angin sejuk di musim kemarau.
Ia berkata: “Aku tidak takut miskin. Tapi aku takut kelak ditanya Allah: mengapa engkau biarkan rakyatmu lapar, sementara engkau kenyang?” Bahkan ketika anaknya protes: “Wahai Ayah, anak-anak khalifah lain hidup mewah, kenapa kami bersahaja?”
Ia menjawab: “Wahai anakku, ayahmu lebih memilih kamu lapar di dunia, daripada engkau terbakar di neraka karena harta haram.”
Taubat Para Pemimpin
Taubat bukan hanya milik para pezina dan pemabuk. Taubat juga milik pemimpin yang menyadari amanahnya. Umar bin Abdul Aziz mengajarkan bahwa memegang kekuasaan justru peluang untuk bersujud lebih dalam.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Syekh Said Hawwa: “Ketika para penguasa menangis di malam hari, bumi akan tersenyum di siang hari.”
Zuhud adalah Bentuk Taubat dari Cinta Dunia
Umar bin Abdul Aziz bertobat dari syahwat dunia yang tidak tampak. Ia sadar bahwa kezaliman bukan hanya menindas, tapi juga hidup mewah saat rakyat sengsara. “Kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau…” (QS. Al-Hadid: 20)
Syekh Abdul Halim Mahmud: “Zuhud bukan meninggalkan dunia, tapi menempatkan dunia di tangan, bukan di hati.”
Umar bin Abdul Aziz menebus masa lalu kekuasaan dengan menegakkan keadilan. Ia menciptakan pemerintahan yang menangis bersama rakyat, bukan memungut dari mereka.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan berbuat baik...”(QS. An-Nahl: 90)
Syekh Ramadhan al-B???: “Tidak ada taubat yang lebih indah bagi pemimpin, kecuali meninggalkan kesombongan dan menunaikan amanah.”
Kata-Kata Hikmah dari Kisah Ini
“Pemimpin sejati bukan yang dicintai oleh istana, tapi oleh langit.”
“Taubat seorang raja lebih mulia dari seribu khutbah.”
“Keadilan adalah sujud dalam bentuk sosial.”
Kesimpulan: Singgasana Itu Amanah, Bukan Kemuliaan
Umar bin Abdul Aziz mengajarkan bahwa: Pemimpin terbaik adalah yang menangis ketika diberi kekuasaan. Taubat adalah jalan untuk menebus kekeliruan, meski dulu disanjung. Dan bahwa harta dan tahta bisa menjadi alat menuju surga, jika dijalani dengan takut kepada Allah.
“Wahai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang tulus...” (QS. At-Tahrim: 8). “Jangan kira taubat hanya milik orang kecil. Justru ketika para penguasa bertaubat, bumi akan subur dan langit akan menurunkan berkah.”***