Hakekat Kaya

Opini Jumat, 17 Oktober 2025 - 08:17 WIB
Hakekat Kaya

Hakekat Kaya

Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab

 

Segala puji bagi Allah swt, Dzat yang memberi dan menahan sesuai hikmah-Nya, yang memuliakan hamba dengan ujian sebagaimana dengan nikmat.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, teladan bagi mereka yang tidak diperdaya oleh dunia dan yang hatinya selalu terpaut pada akhirat.

 

Kekayaan yang Sering Menipu Hati.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani menyingkap satu penyakit halus yang menggerogoti hati para salik: keinginan untuk menjadi kaya.

Beliau tidak menentang harta, tetapi menegur cinta kepada kekayaan yang lahir dari ambisi diri dan lenyapnya rasa cukup kepada Allah.

Beliau berkata:

“Janganlah engkau berangan-angan menjadi orang kaya, karena engkau tidak tahu apakah kekayaan itu akan mendekatkanmu kepada Allah atau menjauhkanmu dari-Nya.”

 

Kalimat ini mengandung hikmah dalam. Keinginan menjadi kaya sering kali tidak berangkat dari niat ibadah, melainkan dari hasrat untuk dihormati, berkuasa, dan merasa aman secara duniawi.

Padahal, keamanan sejati bukanlah pada banyaknya harta, melainkan pada ketenangan hati yang hanya datang dari Allah.

Allah swt berfirman:

 

“Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

(QS. Al-Anfal [8]: 28)

 

 

Kaya Dunia vs Kaya Hati.

 

Syekh al-Jailani menjelaskan bahwa hakikat kekayaan bukan pada jumlah harta, tetapi pada kecukupan hati.

Orang yang kaya dunia tapi hatinya tamak adalah fakir sejati. Sedangkan orang yang tidak memiliki banyak, namun ridha dengan pemberian Allah,  dialah yang benar-benar kaya.

Rasulullah saw bersabda:

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan hati.”

(HR. Bukhari & Muslim).

 

Maka, orang yang menginginkan kekayaan hanya agar dirinya aman dan dihormati, sesungguhnya belum mengenal siapa al-Ghaniyy, Dzat Yang Maha Kaya.

 

Syekh Abdul Qadir berkata:

“Siapa yang mencintai dunia, maka ia telah berpaling dari Tuhannya; siapa yang merasa cukup dengan Allah, maka dunia tunduk di bawah telapak kakinya.”

 

 

 Bahaya Keinginan untuk Kaya.

 

Keinginan untuk menjadi kaya dapat menjerumuskan hati pada tiga penyakit ruhani:

 

Pertama. Cinta dunia (?ubb ad-dunya), akar segala kesalahan, sebagaimana sabda Nabi saw:

“Cinta dunia adalah sumber dari segala kesalahan.”

(HR. Baihaqi).

 

Kedua. Kekhawatiran berlebihan terhadap rezeki,  seolah-olah Allah tidak menjamin kehidupan hamba-Nya.

 

Ketiga. Kehilangan fokus terhadap akhirat, karena hati sibuk menghitung dunia, bukan menghitung amal.

 

Syekh al-Jailani memperingatkan:

“Orang yang sibuk mengejar kekayaan akan terhalang dari maqam tawakal. Ia mungkin mendapat dunia, tetapi kehilangan hati yang bersandar pada Rabb-nya.”

Allah swt menegaskan:

“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami berikan kepada mereka balasan di dunia dengan sempurna; namun di akhirat mereka tidak mendapat apa-apa.”

(QS. Hud [11]: 15)

 

 

Kekayaan yang Diterima di Sisi Allah.

 

Namun, Syekh Abdul Qadir tidak menolak kekayaan secara mutlak.

Beliau menegaskan: kekayaan yang terpuji adalah yang berada di tangan, bukan di hati.

Seorang wali bisa kaya, tetapi kekayaannya adalah amanah, bukan kebanggaan.

Beliau berkata:

“Jika engkau diberi kekayaan oleh Allah, terimalah dengan syukur. Tapi jika engkau tidak diberi, bersabarlah dengan ridha. Jangan mencari dunia dengan mata tamak, dan jangan menolaknya dengan sombong. Jadilah hamba yang menerima, bukan yang meminta.”

Nabi saw sendiri adalah contoh sempurna:

Beliau pernah miskin, pernah juga kaya,  tapi tidak pernah diperbudak oleh keduanya.

Rasulullah saw bersabda:

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Yang aku khawatirkan adalah bila dunia dibukakan bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba seperti mereka, hingga dunia membinasakan kalian.”

(HR. Bukhari & Muslim)

 

 

Ujian Kekayaan bagi Hati.

 

Kekayaan adalah ujian yang lebih halus daripada kemiskinan.

Sebab ketika seseorang miskin, ia sadar akan ketergantungannya kepada Allah. Tapi ketika kaya, ia mudah lupa dan merasa mampu berdiri sendiri.

Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena ia melihat dirinya serba cukup.”

(QS. Al-‘Alaq [96]: 6–7).

 

Itulah sebabnya Syekh al-Jailani berkata:

“Kaya yang paling berbahaya adalah kaya hati yang tidak kenal syukur. Ia merasa aman dari ujian Allah, padahal di dalam dirinya telah tumbuh sombong yang halus.”

Maka, seorang salik harus terus membersihkan niat. Bila ia berusaha mencari rezeki, niatkan untuk ibadah dan kemaslahatan, bukan untuk kebanggaan. Bila ia diberi kelapangan, niatkan untuk memberi dan melayani, bukan untuk memperbanyak harta.

 

 

Jalan Zuhud di Tengah Dunia.

 

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi mengosongkan hati dari ketergantungan kepada dunia.

Imam al-Ghazali berkata:

“Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki dunia, tetapi dunia tidak memiliki dirimu.”

Syekh al-Jailani menegaskan hal yang sama:

“Jadilah orang yang bekerja di dunia, namun hatinya bersama Allah. Jika dunia datang kepadamu, jangan engkau terima kecuali dengan rasa syukur; jika dunia pergi, jangan engkau tangisi kecuali dengan sabar.”

Inilah keseimbangan ruhani seorang mukmin sejati,  bekerja keras tanpa diperbudak hasil, bersyukur dalam kelapangan, dan bersabar dalam kekurangan.

Ia tidak ingin menjadi kaya, karena ia tahu kekayaan hanyalah ujian yang terselubung dalam bentuk kenikmatan.

 

 Ketenangan dalam Tidak Menginginkan.

 

Hati yang tenang bukanlah hati yang memiliki banyak, tetapi hati yang tidak lagi ingin banyak.

Ketika engkau berhenti berangan-angan tentang kekayaan, saat itu pula Allah menganugerahkan kekayaan sejati, ghina’ anin-nas  yaitu merasa cukup tanpa bergantung pada siapa pun.

Rasulullah saw bersabda:

“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.”

(HR. Muslim).

 

Syekh al-Jailani menggambarkan keadaan ini dengan indah:

“Ketika engkau tidak lagi menginginkan dunia, dunia akan datang kepadamu dalam keadaan hina; tapi jika engkau mengejarnya, ia akan lari darimu seperti bayangan.”

 

 Kaya dengan Allah, Bukan dengan Dunia.

 

Saudaraku yang dirahmati Allah, oase dakwah ini bukan ajakan untuk meninggalkan harta, tetapi untuk meninggalkan ketamakan.

Karena harta hanyalah sarana, sementara tujuan kita adalah Allah.

 

Syekh  al-Jailani mengingatkan dengan doa:

“Ya Allah, jadikanlah hati kami kaya dengan-Mu, bukan dengan dunia. Jauhkan kami dari cinta harta yang memalingkan, dan karuniakan kepada kami rasa cukup yang menenangkan.”

 

Refleksi Ruhani:

Setiap kali hati tergerak ingin kaya, ucapkanlah dzikir ini perlahan:

“Allahu ghaniyyun ‘anni, wa ana faqirun ilaih.”

(Allah Maha Kaya dariku, dan aku fakir kepada-Nya.)

Biarlah kekayaan dunia berlalu seperti angin, karena yang sejati hanyalah kekayaan hati yang bergantung kepada Allah semata.

 

Allahu 'Alam.

*Disadur dari Fathur Rabbani.




Mutiara Merdeka Wedding Package Garden
Mutiara Merdeka Wedding Package Daisy
Mutiara Merdeka Wedding Package Calendula
Mutiara Spesial Deal

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.