Lulusan Unilak Temukan Pendekatan Baru Penyelesaian Konflik Tenurial

Riau Analisa.com-Pekanbaru –Seorang lulusan Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lancang Kuning (Unilak) berhasil mengembangkan inovasi penyelesaian konflik tenurial melalui metode yang ia sebut Pendekatan Pialang Budaya. Namanya Jhony Setiawan Mundung mahasiswa anggkatan ketiga yang masuk pada tahun 2023 dan tamat pada tahuan 2025,
Pendekatan ini memadukan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan peran pialang budaya, yang mampu mempertemukan dua nilai besar: budaya berbasis komunitas dengan sistem ekonomi subsisten, dan budaya rasional berbasis kapital serta pasar yang diwakili perusahaan.
Melalui komunikasi lintas budaya yang intens, pendekatan ini dinilai mampu mempercepat penyelesaian konflik dan mempermudah tercapainya kesepakatan antara pihak yang bersengketa.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Unilak, Dr. Husni Mubarak,ST.,M.Sc, CST, mengapresiasi capaian tersebut.
“Sebagai lembaga akademis, kami mendorong lulusan untuk memberi kontribusi signifikan dengan menemukan teori dan pendekatan baru. Sejauh pengetahuan saya, di Riau bahkan di Indonesia, baru lulusan Magister Ilmu Lingkungan Unilak yang berhasil merumuskan pendekatan baru penyelesaian konflik,” ujarnya, awal pekan ini.
Penelitian yang dituangkan Mundung dalam tesis berjudul Pendekatan Pialang Budaya dalam Penyelesaian Konflik Tenurial ini dibimbing oleh Dr. M. Rawa El Amady, M.A., dan Dr. Eno Suwarno, M.Si. Ia mengkaji pengalaman Perkumpulan Scale Up (SU) dalam menangani konflik tenurial di Riau sejak 2011 hingga 2023, dengan fokus pada tiga kasus: konflik Datuk Raja Melayu dengan perusahaan HTI (2011–2015 dan 2019–2020), konflik Petani 14 di Kelurahan Teluk Meranti (2015–2018), dan konflik di Desa Pulau Muda (2019).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode 2011–2018, penyelesaian konflik rata-rata memakan waktu tiga tahun meski hasilnya damai berkelanjutan. Namun, pada periode 2018–2023, durasi penyelesaian dapat dipangkas drastis.
“Temuan saya menunjukkan bahwa pada periode kedua, SU mengembangkan peran pialang budaya secara ‘melekat’, yaitu hadir di kedua belah pihak sebagai fasilitator aktif, bukan sekadar mediator,” kata Mundung.
Pembimbingnya, Dr. M. Rawa El Amady, menilai inovasi ini memiliki dua kebaruan penting.
“Pertama, mengawinkan ADR dengan konsep pialang budaya sehingga prosesnya lebih dinamis. Kedua, mengembangkan pialang budaya dari sekadar mediator menjadi fasilitator lintas budaya yang aktif dalam penyelesaian konflik tenurial,” jelasnya.
Temuan ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi lembaga mediasi dan pemerintah dalam mempercepat dan mengefektifkan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.(fiz)