MK Hapus Aturan Presidential Threshold

Mahkamah Konstitusi RI (Mahkamah Konstitusi)
JAKARTA (RAN) - Setelah 36 kali ditolak, gugatan terhadap norma presidential threshold (PT) atau ambang batas pengajuan calon presiden-wakil presiden akhirnya dikabulkan. Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur mengenai ambang batas adalah inkonstitusional.
Dalam putusannya, norma PT bukan hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. ’’Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan telah mencermati beberapa kali Pemilihan Presiden (Pilpres) yang selama ini didominasi partai politik tertentu dalam pengusulan calon. Hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak pemilih untuk mendapatkan alternatif calon yang memadai.
MK juga menilai, dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas dan mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, ada kecenderungan untuk mengupayakan agar setiap pilpres hanya terdapat dua paslon.
Padahal, pengalaman menunjukkan, dengan hanya dua paslon, masyarakat di akar rumput mudah terjebak polarisasi yang mengancam kebhinekaan Indonesia. Bahkan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pilpres akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan itu dapat dilihat dalam fenomena pilkada yang dari waktu ke waktu bergerak ke arah munculnya calon tunggal.
Artinya, lanjut MK, mempertahankan PT berpotensi menciptakan pilpres yang tidak memberi pilihan para rakyat. Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau bergeser dari salah satu tujuan perubahan konstitusi. "Yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.
Meski menyatakan norma PT inkonstitusional, MK meminta agar tetap diperhitungkan potensi jumlah calon. Karena itu, dalam revisi UU Pemilu mendatang, DPR dan pemerintah dapat mengatur agar tidak muncul paslon dengan jumlah yang terlalu banyak. MK juga memberikan pedoman dalam penyusunan norma tersebut.
Untuk diketahui, permohonan uji materi itu diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Selain itu, ada juga perkara serupa di Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan LSM Netgrit yang diwakili Hadar Nafis Gumay dan perorangan Titi Anggraini. Serta perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan empat dosen. Yakni, Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad.
Sementara itu, Titi Anggraini mengapresiasi putusan MK itu. Baginya, itu membuat demokrasi Indonesia kembali punya harapan. "Jadi ini luar biasa ya, Pilpres 2029 akan lebih inklusif, masyarakat akan lebih punya banyak pilihan," ujarnya.(rhd)